Dua tahun setelah pemerintah meluncurkan cetak biru tentang industri kreatif, gaungnya nyaris tak terdengar. Lebih dari enam bulan setelah Kabinet Indonesia Bersatu II bekerja, rencana aksi nasional untuk mewujudkan industri kreatif belum terasa kehadirannya.
Tentang pembiayaan, misalnya, belum terdengar ada lembaga yang dapat menetapkan struktur atau bentuk industri kreatif seperti apa yang layak dibiayai dana pinjaman dari bank. Pengintegrasian industri kreatif ke dalam kurikulum pendidikan juga tidak terdengar rancangannya secara nasional. Begitu pula peningkatan keterampilan sumber daya manusia pendukung industri kreatif yang juga terkait dengan pengembangan ketenagakerjaan pun belum terdengar langkah konkretnya. Lalu, ruang kota yang dapat menumbuhkan industri kreatif pun tak terdengar rancangannya. Padahal, aksi di atas merupakan prasyarat tumbuhnya industri kreatif yang telah diidentifikasi dalam seminar nasional di Jakarta awal Juni 2008.
Seperti telah sering ditulis di Kompas, industri kreatif adalah proses peningkatan nilai tambah hasil eksploitasi kekayaan intelektual berupa kreativitas, keahlian, dan bakat individu menjadi produk yang dapat dijual sehingga meningkatkan kesejahteraan bagi pelaksana dan orang yang terlibat. Industri kreatif tentu saja menuntut adanya ide kreatif, tetapi lebih penting lagi harus terjadi transformasi dari ide kreatif menjadi produk bernilai ekonomi. Pada proses transformasi inilah pemerintah harus memainkan perannya yang sentral.
Dalam seminar nasional industri kreatif tersebut-menyertai diserahkannya cetak biru industri kreatif kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu di Pekan Produk Budaya Indonesia-sudah ditegaskan keberhasilan industri kreatif Indonesia adalah keterkaitan antara tiga pelaku utama, yaitu intelektual, termasuk budayawan, seniman, pendidik, peneliti, penulis, pelopor di sanggar budaya, serta tokok di bidang seni, budaya, dan ilmu pengetahuan; bisnis, yaitu pelaku usaha yang mentransformasi kreativitas menjadi produk bernilai ekonomi; dan pemerintah sebagai katalisator dan advokasi, regulator, konsumen, investor, dan wiraswasta, sera perencana kota.
Model pengembangan pun sudah disiapkan pemerintah, yang terdiri atas lima pilar: industri yang terlibat industri kreatif; teknologi untuk mewujudkan kreativitas individu kreatif; sumber daya alam dan lahan; kelembagaan, termasuk norma masyarakat, asosiasi industri, komunitas, dan perlindungan atas kekayaan intelektual; dan lembaga intermediasi keuangan. Yang belum terasa adalah janji pemerintah berkoordinasi lintas lembaga di pemerintahan dan keterkaitan antara tiga aktor utama.
Inisiatif
Untungnya pelaku industri tak loyo. Toh, ke-14 industri itu, antara lain film, kerajinan, mode busana, fotografi, dan musik, sudah ada sebelum pemerintah memberi julukan industri kreatif.
"Saya tidak tahu di sektor lain, tetapi yang kami rasakan di bidang mode sebelum ada kebijakan yang didesain sesuati kekuatan, kelemahan, dan kebutuhan industri mode. Sampai saat ini industri mode hanya jadi wacana dan kertas makalah seminar (nasional awal Juni 2008)," tutur Musa Widyatmodjo, perancang busana dan penasihat Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI).
Di dalam industri mode yang memberi sumbangan devisa tertinggi di dalam kelompok industri kreatif, pelaku industri dihadang isu persaingan dengan dimulainya Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China pada 1 Januari 2010. Persaingan jadi berat karena Pemerintah China mendukung total industri dalam negerinya. Data Kementerian Perindustrian memperlihatkan, pada industri tekstil, misalnya, suku bunga pinjaman di Indonesia besarnya 14 persen, sementara China 6 persen; meskipun harga listrik Indonesia lebih murah, pasokannya tak kontinyu; dan produktivitas tenaga kerja China jauh lebih besar dan lebih murah, yaitu bekerja 44-48 jam/minggu (Indonesia 40 jam), setahun 347-350 hari per tahun (337 hari) dan biaya 0,55-0,85 dollar AS/jam (0,65 dollar AS).
Sampai saat ini produk mode Indonesia masih dapat bersaing karena mutunya lebih baik dan ditujukan untuk kelas konsumen menengah-atas. Namun, seperti dialami industri mode Eropa yang memindahkan pabriknya ke China, hanya persoalan waktu sebelum China juga menguasai teknologi mode untuk menghasilkan produk bermutu tingginya sendiri.
Di tengah situasi "sendiri" tersebut, pelaku industri mode Indonesia terus tekun bekerja. Selain tetap menyelenggarakan pergelaran arah mode melalui asosiasi atau secara individual bagi perancang yang mapan, mereka juga mengikuti pergelaran yang lebih bersifat bisnis, seperti Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF) yang berlangsung sejak Rabu (12/5) hingga Minggu (23/5) dan Jakarta Fashion Week sejak 2008.
Meskipun penyelenggaraan JFFF di Mal Kelapa Gading awalnya bertujuan mempromosikan kawasan perumahan dan niaga di bawah PT Summarecon Tbk, dalam perjalanannya kegiatan yang dimulai sejak 2004 itu semakin menegaskan bentuknya sebagai ajang bisnis. Salah satunya, berubahnya arah kompetisi desain mode busana.
Jangan lupa
Bila sebelumnya bernama Gading Young Designer Awards, mulai tahun ini menjadi Gading Fashion Entrepreneurship Awards. Seperti namanya, kompetisi ini mencari desainer muda yang mampu mentransformasikan ide kreatif mereka menjadi kegiatan ekonomi sehingga peserta harus telah memiliki usaha, perencanaan bisnis, dan siap membuat produk siap pakai. Tiga pemenang kompetisi ini, yaitu Eridani, Sere M Simanjuntak, dan Vonny C Kirana, mendapat kesempatan menjual produk mereka di The Catwalk Fashion Gallery, Mal Kelapa Gading, serta beasiswa satu tahun belajar mode di Esmod Jakarta.
"Tujuan kami melahirkan desainer yang memang berminat masuk industri mode, membuat pakaian jadi karya perancang. Lima tahun ke depan kami menargetkan ada cukup banyak jumlah perancang, luas ragam produknya, dan karena itu JFFF siap mengundang pembeli dari luar negeri," kata Musa Widyatmodjo, wakit ketua penyelenggara JFFF.
Jalan ke arah sana dipersiapkan dengan merangkul semua pemangku kepentingan. Selain pergelaran busana karya anggota APPMI dan Ikatan Perancang Mode Indonesia, JFFF juga melibatkan UKM mode, siswa sekolah mode, distro dari Bandung, hingga membuat prediksi mode tahun depan yang khas Indonesia. Dina Midiani, anggota APPMI dan penanggung jawan penyusunan tren mode 2011, mengatakan, meski masih melihat arah besar dunia, tetapi tren yang disusun bersama Indonesia Creative Center itu sepenuhnya mengacu pada gaya hidup orang Indonesia. Para responden dijaring, antara lain, melalui diskusi kelompok terfokus.
Mudah-mudahan pemerintah tidak terbenam pada isu politik praktis bagi-bagi kekuasaan sehingga lupa pada janji mengembangkan industri kreatif, industri yang digembar-gemborkan berdaya saing tinggi dan dapat diunggulkan sebagai pencipta lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, dan memperbaiki citra Indonesia yang dikenal sebagai tukang jiplak.
Sumber: Kompas Cetak
Kamis, 17 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar